Berdamai dengan Diri Sendiri

Beranda / Berita / Berdamai dengan Diri Sendiri
1 Agustus 2019
Berdamai dengan Diri Sendiri

Oleh: Irfan Fahriza, M. Pd

Damai merupakan kebutuhan setiap individu, seperti halnya kebahagiaan, keadilan, dan kesehatan. Remaja yang sedang dalam peralihan menuju dewasa tidak jarang menyelesaikan permasalahan mempergunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah menunjukkan tidak terdapatnya konsep kedamaian dalam diri. Permasalahan hidup yang semakin kompleks menuntut remaja untuk berpikir secara sistematis dan realistis dalam menyelesaikan permasalahan. Remaja seyogyanya memiliki kompetensi hidup damai sehingga mampu menghadapi tantangan kehidupan. Sekolah merupakan sarana yang efektif dalam upaya menanamkan budaya damai kepada remaja. Remaja perlu diberikan penanaman ditanamkan nilai-nilai kedamaian pada setiap proses pembelajaran sehingga memiliki kompetensi hidup damai.

Mendefinisikan damai tidaklah mudah, terkadang damai dapat dipahami ketika sudah tidak ada lagi kedamaian. Galtung memetakan damai menjadi dua jenis, yaitu damai positif dan damai negatif [2]. Damai positif merupakan keadaan yang secara simultan hadir dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat, seperti; harmoni, keadilan, dan kesetaraan. Adapun damai negatif merupakan keadaan ketika tidak ada lagi perang dan ragam tindak kekerasan  serta konflik.

Dalam bahasa Inggris, pax adalah akar kata Latin untuk perdamaian, yang berarti pemukiman atau pemahaman umum yang berakhir atau dapat menghindarkan permusuhan. Dalam bahasa Ibrani dan Arab akar kata untuk perdamaian yaitu, shalom, salaam adalah shalev, yang berarti keseluruhan atau tidak terbagi. Di Cina, perdamaian ditulis dengan dua karakter, yang berarti harmoni dan kesetaraan lain atau keseimbangan; dengan demikian, perdamaian adalah harmoni seimbang. Dalam bahasa Jepang, perdamaian diwakili oleh dua karakter yang berarti harmoni,  kesederhanaan, dan ketenangan. Hindu dan bahasa Sansekerta memiliki beberapa kata untuk perdamaian yaitu, avirodha, shanty, chaina yang berarti tidak ada perang, spiritual atau kedamaian batin,  dan kedamaian mental atau ketenangan. Berdasarkan akar kata tersebut dapat disimpulkan bahwa  perdamaian lebih dari tidak adanya perang, seperti kesehatan lebih dari tidak adanya penyakit. Selain tidak adanya perang atau kekerasan, perdamaian melibatkan saling menguntungkan, kerjasama, hubungan yang harmonis antara pihak-pihak terkait. Agar perdamaian dapat dicapai, kekerasan dan penindasan harus berakhir dengan cara yang menciptakan hubungan yang ditandai dengan upaya kerjasama, perasaan positif, saling menguntungkan, dan keadilan.

Damai menjadi "konsep payung", ekspresi umum yang diinginkan individu, sesuatu hal yang baik, dan sesuatu yang ingin dicapai. Manusia akan selalu menuju tujuan, individu menjadi optimis, dan "damai" tampaknya menjadi salah satu istilah yang digunakan untuk menjadi tujuan utama [2]. Senada dengan Webel & Galtung [2] memetakan beberapa definisi tentang damai dan diperoleh intisari tentang hakikat damai sebagai berikut: (1) keadaan yang terbebas dari pertentangan, yaitu masyarakat yang aman dan teratur oleh norma dan hukum; (2) kondisi mental dan spiritual yang terbebas dari kecemasan dan gangguan emosi (inner peace); (3) keadaan yang terbebas dari kekacauan dan kekerasan; (4) harmoni kehidupan antara individu, yakni antar individu saling menghargai dan hidup rukun.

 

Referensi:

[1] Galtung, Johan. (2010). Peace studies and conflict resolution: The Need for Transdisciplinarity. Tersedia di: http://tps.sagepub.com/content/47/1/20.short  [13 Mei 2014]

[2] Webel, Charles & Galtung, Johan (2007). Handbook of peace and conflict studies.  London : Routledge

#Hastag
Berita Lainnya
Copyright © 2025 Masoem University