Penulis: Noval Anwari Faiz, S.S, Guru Bhs Indonesia SMA Al Ma'soem
Ada pepatah lama yang tampaknya relevan dengan kondisi Indonesia zaman sekarang atau mungkin sepanjang zaman, bunyinya, “Buku adalah gudang ilmu, dan membaca adalah kuncinya”. Sekali lagi, pepatah itu pepatah lama dan milik Indonesia, tetapi sampai sekarang tetap layak ditujukan dan diteriakkan sekencang-kencangnya kepada masyarakat Indonesia. Mengapa? Karena sampai sekarang kita masih gagap dalam membaca. Sampai sekarang kita masih terbata-bata apabila disodori teks berparagraf-paragraf dan diminta mencernanya dalam beberapa menit. Intinya, kita masih enggan untuk membaca.
Ya, sudah bukan rahasia lagi—atau coba dirahasiakan tapi semua orang sudah tahu—bahwa masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat pembaca. Bangsa kita tidak dikenal dengan kebiasaan menekuri buku berlama-lama di pojok-pojok perpustakaan. Kita pun tidak dikenal sebagai bangsa yang mengisi waktu luang menunggu bus di halte sambil membaca buku atau sekadar membaca komik. Tidak lazim kita lihat orang duduk di bangku taman sambil menekuni kalimat demi kalimat dalam buku. Kita lebih dikenal sebagai bangsa yang senang bertutur kata, bersilat lidah, dan menghabiskan waktu di warung atau kedai-kedai untuk bersenda gurau bersama sahabat dan kolega sampai waktu berlalu.
Survei PISA tahun 2018 mengenai kemampuan membaca, menempatkan Indonesia di urutan 74 dari 80 negara. Setali tiga uang, kemampuan Indonesia dalam bidang matematika dan sains pun tidak jauh-jauh dari urutan tersebut. Yang lebih memprihatinkan, ternyata posisi Indonesia itu tidak pernah mengalami perbaikan selama bertahun-tahun, bahkan cenderung menurun. Sebagai perbandingan saja, pada tahun 2015, Indonesia masih berada di urutan 64 untuk kemampuan membaca, 63 matematika, dan 62 dalam sains.
Apakah kemampuan membaca begitu krusial bagi sebuah bangsa? Jawabannya ya, sangat krusial. Kemampuan membaca sangat krusial dan esensial bagi kemajuan sebuah bangsa. Kemampuan membaca yang tinggi akan mengantarkan individu pada meningkatnya kemampuan literasi, yang sejatinya bukanlah hanya kegiatan membaca kata demi kata tanpa makna. Literasi memiliki makna keterampilan berpikir dan memproses serangkaian informasi yang didapat dari berbagai sumber.
Seseorang yang memiliki tingkat literasi tinggi akan mampu mengolah berbagai informasi yang didapatnya dari berbagai media; buku, internet, televisi, radio, dan lain sebagainya, seperti potongan-potongan puzzle yang kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah bentuk secara keseluruhan dan utuh. Melalui kemampuannya itulah kemudian orang yang terampil berliterasi akan mampu menyimpulkan suatu informasi dan kemudian mengambil keputusan yang sangat penting bagi kehidupannya.
Ilustrasi kasar dan sederhananya begini, cuaca buruk kerap melanda Argentina dan negara-negara Amerika Latin setiap Juni. Maka, petani Indonesia yang memiliki literasi tinggi akan segera menanam kedelai sebanyak-banyaknya pada bulan Mei. Karena dari yang diketahui sang petani, Argentina adalah negara pemasok kedelai untuk Indonesia. Ia pun tahu lamanya pengiriman kedelai dari Argentina ke Indonesia adalah dua bulan. Oleh karena itulah, pada bulan September saat memasuki masa panen, ia akan menangguk untung di saat harga kedelai di Indonesia sedang tinggi. Sementara petani lain yang kemampuan literasinya rendah tidak mendapatkan apa-apa karena hanya memiliki beberapa keping “puzzle” dan sama sekali tidak memiliki kemampuan mengolah dan menerjemahkan informasi yang didapatnya.
Itulah salah satu gambaran keunggulan literasi. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya bila kita juga memiliki kemampuan literasi di bidang-bidang lainnya. Misalnya politik, pasar saham, ilmu pengetahuan, kekayaan sumber daya alam, militer, dan lain sebagainya.
Bisa dibayangkan juga betapa ngerinya apabila negara kita memiliki kemampuan literasi yang rendah sementara di sekeliling adalah negara-negara yang lebih unggul dari kita. The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), lembaga yang mengeluarkan PISA, pada 2018 menyatakan bahwa kemampuan membaca rakyat Indonesia bahkan berada di bawah Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Jangan tanyakan di mana posisi Singapura. Negara tetangga yang kecil mungil itu selalu berada di urutan teratas, bahkan di tingkat dunia.
Berdasarkan paparan di atas, sudah waktunya Indonesia segera mengejar ketinggalan dengan memacu generasi mudanya agar gemar membaca. Tidak harus saling tuding untuk menunjuk siapa yang harus berperan atau siapa yang selama ini salah, segenap rakyat Indonesia harus ambil bagian dalam gerakan meningkatkan budaya membaca dan literasi. Dimulai dari lingkup keluarga dengan memenuhi setiap sudut ruang keluarga dengan buku. Mengakrabkan anak-anak dengan buku sejak dini sangatlah baik untuk menanamkan cinta membaca. Para ayah dan ibu seyogianya luangkanlah waktu di sela kesibukan untuk mencomot buku lalu membacakannya pada si kecil yang berangkat tidur.