Persoalan minat baca masyarakat yang rendah sudah sejak lama menjadi pusat perhatian berbagai kalangan, beragam perhatian dengan beraneka ragam upaya pencarian solusi masalah itu telah ditempuh. Namun, langkah penyelesaian masalah seakan tak berujung. Jika melihat kembali hasil survei dari studi Most Littered Nation In the World 2016 bahwa budaya literasi (baca-tulis) di Indonesia masih sangat rendah dan jauh tertinggal.
Dari 61 negara yang diteliti tingkat literasinya, menempatkan Indonesia di urutan ke-60 setelah Bostwana (Peringkat kedua dari bawah). Menurut riset UNESCO, indeks minat baca Indonesia 0,001 %. Itu artinya dari seribu orang hanya ada satu yang memiliki minat baca, dan hanya baru sampai "minat baca".
Data dari survei 3 tahunan BPS juga mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66 %, sementara minat menonton mencapai 91,67 %. Tetapi jika dilihat dari segi infrastuktur yang mendukung kegiatan membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. Indonesia berada di urutan 34 untuk penilaian dari komponen infrastruktur, berada di atas Jerman, Portugal, Selaindia Baru dan Korea Selatan. Begitupun perpustakaan di sekolah yang cenderung sepi pengunjung dan tidak ada perubahan dari tahun ke tahunnya.
Kita bisa belajar dari negara kecil yang justru dahulu belajar dari bangsa Indonesia, Singapura adalah negara yang memahami pengetahuan telah menjadi titik tolak kesuksesan dalam lingkungan kompetisi global saat ini. Perhatian pada perpustakaan menjadi salah satu indikator penting mendukung proses pencerdasan bangsa.
Terdapat beberapa masalah yang bisa menjadi kajian bagi sekolah, para pendidik, dan pengelola perpustakaan. Pertama. Transformasi perpustakaan yang ada disekolah, perpustakaan jangan menjadi sebuah tempat yang sepi pengunjung dan perpustakaan tidak hanya berperan sebagai penyedia infomasi saja tapi harus menjadi pembentuk peradaban bangsa.
Selain Service Excelent perpustakaan harus melakukan reformasi dalam tata kelola baik yang bersifat konvensional atau era digital, perpustakaan harus menciptakan generasi yang kreatif, inovatif dan solutif. Perpustakaan harus bertransformasi mengikuti perkembangan teknologi agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat, e-library bisa menjadi solusi terbaik dalam mengimbangi pengaruh screen culture di era digital, Laptop dan gadget yang sering dipandang hanya dari fungsi instan/praktisnya saja, bahkan cenderung hanya untuk bermedsos ria, main game, nonton youtube dan sejenisnya.
Perpustakaan harus menyediakan banyak fitur-fitur yang bisa digunakan untuk pengembangan literasi membaca di sekolah. Perpustakaan ke depannya tidak hanya menjadi tempat berkumpul untuk membaca buku ataupun mencari informasi, namun perpustakaan dapat menjadi working space tempat munculnya inovasi-inovasi baru. Perpustakaan juga dapat menjadi suatu virtual office, sehingga dari perpustakaan lahirnya konsep, ide ataupun ilmu-ilmu terbarukan.
Kedua, Perpustakaan terintegrasi, menjadi sebuah keharusan setiap lembaga pendidikan harus mendukung upaya integrasi dan sinergi koneksi perpustakaan antar jaringan perpustakaan sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan daerah dan Perpustakaan Nasional. Bahwa integrasi dan sinergi antara Perpustakaan Nasional dengan perpustakaan perguruan sekolah-sekolah di Indonesia sangat penting dalam proses transfer ilmu demi kemajuan bangsa, solusi nyata dengan integrasi dan sinergi, kompilasi jutaan koleksi Perustakaan Nasional dan perpustakaan di sekolah dapat dinikmati dan di akses lebih luas lagi para pencari ilmu.
Ketiga, Penguatan tradisi membaca dan menulis di institusi pendidikan, beberapa masalah mendasar di sekolah bagaimana bisa mempengaruhi siswa gemar membaca buku sementara gurunya sendiri malas membaca buku. Posisi startegis seorang guru sebagai pendidik dalam memberikan teladan membaca dari seorang guru sebagai figur public dirasa masih minim.
Begitupun Program Gemar Membaca hanyalah Program “Hangat Hangat Tahi Ayam,”dengan sendirinya meredup dan lenyap kembali, perlu adanya komitmen dan konsistensi keberhasilan sebuah program yang didukung semua pihak yang berkepentingan di sekolah misalnya salah satunya mewajibkan siswa membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum PBM dimulai saat ini masih rancu, tumpang tindih dan tidak terlaksana.
Dan mewujudkan gerakan membaca di sekolah dapat dimulai dari guru dan kepala sekolah, mulailah dari hal yang kecil dan sederhana yaitu mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang.