Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negeri kepulauan yang memiliki tradisi maritim yang kuat. Bukti dari tradisi laut ini adalah banyaknya suku-suku yang hidup dari hasil laut. Bahkan ada suku yang tinggal di laut, mengapung di atas perahu, menjelajah dari satu laut ke laut lainnya seperti yang dilakukan suku Bajo dari generasi ke generasi.
Kisah suku Bajo diangkat dalam film dokumenter The Bajau karya jurnalis Dandhy Dwi Laksono lewat rumah produksi WatchDoc. Dalam film berdurasi 80 menit itu, dikisahkan kehidupan suku Bajo di era kekinian.
Jika dahulu suku Bajo dikenal sebagai penjelajah lautan dan menyandang julukan “sea gypsies”, namun kini suku Bajo yang hidup di perairan Indonesia menjalani nasib yang berbeda-beda. Film yang pernah ikut festival budaya Pasar Hamburg Jerman ini memotret kehidupan keluarga suku Bajo yang hidup di perairan Torosiaje, Provinsi Gorontalo, dan Morombo, Sulawesi Utara.
Suku Bajo di Gorontalo relatif lebih baik dibandingkan saudaranya yang hidup di Sulawesi Utara. Di Gorontalo, mereka masih bisa melaut di perairan berair jernih yang banyak dihuni habitat ikan dan terumbu karang. Tangkapan ikan mereka melimpah.
Namun suku Bajo yang hidup di Sulawesi Utara, kondisinya sangat memprihatinkan. Mereka harus melaut di perairan dangkal yang sudah tercemar tambang nikel. Terumbu karang di sana rusak parah, ikan-ikan pun menjauh. Padahal kehidupan suku Bajo sangat tergantung pada hasil tangkapan ikan untuk dikonsumsi dan dijual.
Masalah lain, suku Bajo menghadapi krisis identitas. Mereka mengikuti program pemerintah untuk tinggal di darat, membangun rumah, bahkan ada yang dilatih bertani. Mereka diminta tinggal di darat agar terdata sebagai warga negara, mendapat identitas, mendapat bantuan perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Tetapi masalahnya suku Bajo sendiri sudah punya identitas yang diwarisi dari nenek moyangnya ratusan tahun lalu. Identitas mereka hidup di laut, tinggal di atas perahu dari satu perairan ke perairan lainnya. Mereka menghadapi kesulitan mendasar jika harus menjalani kehidupan di darat.
Film The Bajau merekam percakapan suku Bajo tentang pandangannya pada laut. Bagi mereka, laut sebagai rumah sekaligus tempat mencari nafkah. Mereka lahir, tumbuh, dan meninggal di laut.. Jika mereka disuruh memilih tinggal di darat atau di laut, pilihan mereka akan jatuh pada laut. “Orang Bajo biasa di laut dan harus tetap di laut,” kata seorang suku Bajo.
WatchDoc mengungkap, suku Bajo hidup tersebar di perairan Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Sejak dahulu kala mereka sudah terampil membaca navigasi lewat bintang untuk menjelajah lautan tanpa batasan negara. Namun tradisi mereka kini penuh dilema, bahkan bisa berujung kasus hukum. Mereka pernah ditangkap dengan tudingan pencuri ikan.
Sebenarnya, identitas maritim suku Bajo ditampilkan WatchDoc sejak awal pembukaan film yang menayangkan sebuah ritual di laut, yakni penyajian daging penyu dan nasi yang kemudian dihanyutkan di laut. Upacara tersebut dilakukan para tetua yang tak henti-henti berdoa dalam bahasa Bajo maupun Arab.
Ritual “kurban” penyu yang dilarung ke laut menunjukkan mereka sebagai orang-orang laut. Di daratan, kurban biasa dilakukan dengan media hewan yang hidup didarat seperti kambing, sapi atau kerbau.
Di Universita Ma’Soem, para mahasiswa akan dibekali dasar-dasar pembuatan film dan juga akan diberikan fasilitas dalam bentuk Unite Kegiatan Mahasiswa (UKM) bagi mereka yang memiliki hobi di bidang cinematography.