Akad Al-Kafalah menurut bahasa berarti al-á¸aman (jaminan)[1], hamalah (beban), dan za’amah ( tanggungan).[2] Sedangkan menurut terminology hukum Islam yang dimaksud dengan kafalah, para fuqaha berbeda redaksi dalam merumuskannya.
Menurut fuqaha Hanafi al-kafalah memiliki dua pengertian yaitu: Pertama, al-kafalah adalah menggabungkan ẓimah kepada ẓimah yang lain dalam penagihan, dengan jiwa, hutang atau benda. Kedua, al-kafalah adalah menggabungkan ẓimah kepada ẓimah yang lain dalam pokok hutang.[3]
Menurut mazhab Maliki bahwa al-kafalah ialah orang yang mempunyai hak mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri disatukan, baik menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.[4]
Menurut fuqaha Hambali bahwa yang dimaksud dengan al-kafalah adalah iltizam sesuatu yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut dibebankan atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya) kepada orang yang mempunyai hak.[5]
Menurut Mazhab Syafi’I bahwa yang dimaksud al-kafalah adalah akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau menghadirkan badan orang yang berhak menghadirkannya.
Menurut Wahbah Zuhayli al-kafalah adalah kesediaan memberikan hak sebagai jaminan pihak lain, menghadirkan seseorang yang mempunyai kewajiban membayar hak tersebut atau mengembalikan harta benda yang dijadikan barang jaminan. Al-kafalah juga kerap digunakan sebagai istilah sebuah perjanjian yang menyatakan kesiapan memenuhi semua hal yang telah disebutkan sehingga al-kafalah itu sama dengan mengintegrasikan suatu bentuk tanggungan ke tanggungan yang lain.[6]
Menurut Iman Taqiyyudin yang dimaksud dengan kafalah adalah mengumpulkan satu beban dengan beban lain. Menurut Hasbi Ash Shidiqi al-kafalah ialah menggabungkan dzimah kepada dzimah lain dalam penagihan[7]
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, al-kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggungjawab orang lain sebagai penjamin.
Hukum al-kafalah adalah mubah, yang legalitas akadnya para fuqaha mendasarkan pada dalil nash dari Q.S. Yusuf ayat 72: “penyeru-penyeru itu berseru,’kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat beban unta dan aku menjamin terhadapnya”.[8] Ibnu Abbas menafsirkan, kata “za’im”dalam ayat tersebut bermakna kafil atau penjamin.[9]
Sebagian ulama fiqh berpendapat, ayat di atas tidak cukup kuat untuk dijadikan sebagai dasar legalitas akad kafalah. Tetapi lebih tepat sebagai dasar pijakan bagi akad ju’alah. Dalam konteks ini, nabi Yusuf as mengumumkan sayembara, barang siapa yang berhasil mengembalikan piala raja yang hilang, maka ia berhak mendapatkan hadiah dan beliau akan menjaminnya.
Ada beberapa hadis sebagai dasar hukum kafalah, diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud “penjamin adalah seseorang yang bertanggung jawab.”[10]
Dalam hadis al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw kedatangan sebuah jenazah, lalu beliau bertanya, “apakah dia meninggalkan sesuatu?” Para sahabat menjawab, “tidak” Beliau kembali bertanya,”Apakah ia mempunyai kewajiban hutang?” Para sahabat menjawab,“tiga dinar” lalu beliau bersabda, “shalatilah teman kalian tersebut. “Abu Qatadah berkata, “ Shalatilah dia wahai Rasulullah, dan saya bersedia menanggung hutangnya, “lalu beliau menshalatinya”.
Disamping itu, ulama fiqh juga berpegang pada ijma’ sahabat dan praktik-praktik yang dilakuka khulafaur rasyidin dan sahabat tabi’in. Diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud akan menanggung (menjamin) keluarga kaum murtad setelah mereka diminta untuk bertaubat.[11]
Adapun akad tabarrū‟ (gratuitious contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non-for profit transaction (transaksi nirlaba). Akad Tabarru adalah akad yang bertujuan untuk tolong-menolong dan mengharap ridha Allah SWT (social oriented). Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarrū‟ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarrū‟ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Kita dapat melihat dalam Al-qur‟an, Hadist dan kaidah fiqh yang menjadi dasar huku akad tabarrū‟, dimana akad tabarrū‟ini memiliki prinsip sosial yaitu menolong sesama.
[1] Ali Ahmad Salus, Al-Kafalatu wa Tadbiqatuha al-Mua’ssirah, ( Kairo: Dar al-I’tisam, 1987),18
[2] Pada umumnya Istilah al- á¸aman dipergunakan untuk tanggungan dalam hal kekayaan, hamalah dalam masalah diyat atau denda, za’amah dalam masalah tanggungan kekayaan berskala besar, kafalah dalam hal asuransi jiwa. Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu ash-Shafi’i al-Muyassar, Edisi Indonesia : Fiqh Imam Syafi’I, terj. Moh. Afifi, ( Jakarta: Al-Mahira,2010), 158
[3] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Maẓahib al-‘Arba’ah,( Bairut: Dar al-Fikr,1996), 221
[4] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Maẓahib al-‘Arba’ah, 223
[5] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Maẓahib al-‘Arba’ah,224
[6] Wahbah Zuhayli, Al-Fiqhu ash-Shafi’i al-Muyassar, Jilid 2, Edisi Indonesia : Fiqh Imam Syafi’i, terj. Moh. Afifi, ( Jakarta: Al-Mahira,2010), h.157
[7] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 189
[8] Departemen Agama, al-Qur’an dan Terjemahnya,(Surabaya: Mahkota,tt), 360
[9] Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2008),247
[10] HR. Abu Dawud dan at-Tirmiẓi, dan dia menghukumi sanad hadis tersebut hasan dan ibnu Hibban dalam kumpulan hadis sahihnya.
[11] Hamdi Abdu al-Aẓim, Khiá¹ab aá¸-á¸aman fi al-Bunuk al-Islamiyah, (Kairo: al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islami, 1996).45-47