Pemasar selalu memulai dengan segmentasi geografis, yaitu membagi pasar menurut negara, daerah, kota, dan lokasi. Begitu menyadari bahwa segmen geografis terlalu luas, mereka akan menambahkan variable segmentasi demografis: usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan kelas sosial ekonomi. “ Perempeuan mud akelas menengah yang tinggal di Illinois” atau “Baby Boomer kaya asal New York” adalah contoh nama segmen dengan variable geografis-demografis.
Di satu pihak, metode segmentasi geografis dan demografis bersifat top-down, dan karenanya sangat mudah dipahami. Yang lebih penting, metode ini dapat ditindaklanjuti. Perusahaan tahu persis dimana menemukan dan cara mengidentifikasi segmen ini. Di pihak lain, segmen ini kurang bermakna karena orang-orang dengan profil demografi yang sama dan tinggal di lokasi yang sama mungkin memiliki preferensi dan prilaku pembelian berbeda. Selain itu, mereka relatif statid, yang artinya bahwa seorang pelanggan hanya dapat diklasifikasikan dalam satu segmen yang meliputi semua produk. Kenyataanya, perjalanan keputusan pelanggan berbeda menurut kategori dan siklus hidup.
Seiring semakin umumnya riset pasar, pemasaran menggunakan pendekatan yang lebih bersifat buttom-up. Alih-alih menguraikan pasar, mereka mengelompokkan pelanggan yang mempunyai preferensi dan prilaku yang sama ke dalam kelompok menurut respons mereka pada pertanyaan survey. Meskipun bersifat buttom-up, pengelompokkan ini lengkap, yang artinya setiap pelanggan dalam populasi termasuk kedalam satu segmen. Metode jenis ini, yang telaH dikenal baik, adalah segmentasi psikografis dan prilaku.
Dalam segmentasi psikografis, pelanggan dikelompokkan berdasarkan keyakinan dan nilai pribadi mereka serta minat dan motivasi. Nama segmen yang dihasilkan biasanya sudah jelas, seperti “pemanjat sosial” (social climber) atau “ mereka yang berpengalaman” (experienced). Segmen psikografis juga menunjukan sikap terhadap produk atau fitur layanan tertentu, contohnya, “orientasi-pada-kualitas” atau “sadar-biaya”. Segmentasi psikografis memberikan proxy yang baik untuk prilaku pembelian. Nilai dan sikap seseorang adalah pendorong mereka dalam membuat keputusan.
Metode yang lebih akurat adalah segmentasi prilaku, sebab metode ini mengelompokkan pelanggan berdasarkan perilaku masa lalu yang sebenarnya. Segmen perilaku mungkin mencakup nama-nama yang mencerminkan frekuensi pembelian dan jumlah, seperti “penumpang setia” (frequent flyer) dan “pembeli teratas” (top spender). Ini juga dapat menunjukan loyalitas pelanggan dan kedalaman interaksi, dengan nama- nama seperti “penggemar setia”(loyal fan) atau “pengalih merek”(brand switcher), atau “pembeli pertama kali”(firsttime buyer).
Teknik tersebut sangat bernilai karena segmen yang tercipta dapat dengan tepat mencerminkan kluster pelanggan dengan kebutuhan berbeda. Dengan begitu, pemasar dapat menyesuaikan strategi mereka pada setiap kelompok. Akan tetapi, segmentasi psikografis dan perilaku kurang dapat ditindaklanjuti. Segmen dengan nama seperti “pecandu petualangan” atau “pemburu diskon” hanya berguna untuk mendesain iklan kreatif atau pemasaran yang bertujuan menciptakan permintaan (pull marketing). Akan tetapi, dalam pemasaran yang bertujuan mendorong produk benar-benar sampai ke pelanggan (push marketing), akan menjadi lebih sulit bagi tenaga penjualan dan staf garis depan untuk mengidentifikasi ke dua segmen tersebut (“pecandu petualangan” atau “pemburu diskon”) ketika mereka bertemu dengan pelanggan.
Segmentasi semestinya menggunakan pendekatan top-down dan bottom-up. Dengan kata lain, segmentasi harus bermakna dan dapat ditindaklanjuti. Karenanya, ada empat variable yang harus dikombinasikan: geografis, demografis, psikografis, dan prilaku. Dengan menerapkan segmentasi psikografis dan perilaku, pemasar dapat mengelompokkan pelanggan ke dalam kelompok tertentu lalu menambahkan profil geografis dan demografis pada setiap segmen untuk membuatnya dapat ditindaklanjuti.